Rangkuman Akidah Akhlak Kelas 4 Bab 6 Menghindari Akhlak Tercela Melalui Kisah Tsa'labah ~ ustadzmu.com

0
Rangkuman Akidah Akhlak Kelas 4 Bab 6 Menghindari Akhlak Tercela Melalui Kisah Tsa'labah ~ ustadzmu.com. Pembaca Ustadzmu.com, kembali Ustadzmu.com sajikan ringkasan atau rangkuman mata pelajaran Akidah Akhlak untuk adik-adik Kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah (MI) Semester 1 (ganjil). Kali ini ustadzmu.com sajikan Rangkuman Akidah Akhlak Kelas 4 Bab 6 Menghindari Akhlak Tercela Melalui Kisah Tsa'labah.
Rangkuman Akidah Akhlak Kelas IV MI Bab 6 Menghindari Akhlak Tercela Melalui Kisah Tsa'labah


Pembahasan Bab 6 dikhususkan tentang dua pembahasan. Pertama tentang Kisah Tsa'labah dan yang kedua Mengambil Hikmah dari Kisah Tsa'labah.

Rangkuman Akidah Akhlak Kelas 4 Bab 6 Menghindari Akhlak Tercela Melalui Kisah Tsa'labah


1. Akhlak tercela dapat membahayakan dan merugikan diri sendiri dan orang lain.

2. Sifat-sifat tercela, yang dimiliki Tsa'labah, antara lain tidak menepati janji, kikir, sombong, kufur nikmat, dan dzalim

3. Kufur nikmat berarti mengingkari pemberian Allah Swt. dengan cara menyalahgunakannya, melalaikannya, atau memakainya untuk jalan yang dibenci (tidak diridhai) oleh Allah Swt.

4. Ibadah yang dilanggar Tsa'labah adalah zakat dan salat.

5. Akibat berperilaku tercela
a. dimurkai Allah Swt.
b. tidak disenangi sesama
c. kesengsaraan di dunia dan azab di akhirat

6. Hikmah yang dapat diambil dari kisah Tsa'labah
a. Selalu beribadah, baik ketika sempit maupun lapang
b. Selalu syukur nikmat terhadap apa yang dikaruniakan Allah Swt.
c. Menghindari sifat takabur dan kikir
d. Beribadah hanya karena Allah

Nah, itulah ringkasan atau rangkuman singkat materi Akidah Akhlak kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah (MI) Bab 6 Menghindari Akhlak Tercela Melalui Kisah Tsa'labah. Semoga bermanfaat. Silahkan baca-baca postingan Ustadzmu.com lainnya.


Bagi para pembaca ustadzmu.com yang penasaran dengan kisah Tsa'labah itu seperti apa, bisa dibaca kisahnya di bawah ini:

Kisah Tsa'labah


Siang itu Rasululah sedang sholat berjama'ah di masjid bersama para sahabat beliau. Di antara sederetan para sahabat yang makmum di belakang Rasulullah Saw, nampak seorang tengah baya yang kusut rambutnya dengan berpakaian lusuh. Ia dikenal sebagai seorang sahabat Rasululah yang tekun beribadah.

Setelah Rasulullah menyelesaikan sholat, sahabat berpakaian lusuh itu segera beranjak pulang tanpa membaca wirid dan berdoa terlebih dahulu. Rasulullah menegurnya,
“Tsa'labah!... Mengapa engkau tergesa-gesa pulang? Tidakkah engkau berdoa terlebih dahulu? Bukankah tergesa-gesa keluar dari masjid adalah kebiasaan orang-orang munafik?”

Tsa‟labah menghentikan langkahnya, ia sangat malu ditegur oleh Rasulullah, tetapi
apa mau dikata, terpaksa ia berterus terang kepada Rasulullah Saw.

“Wahai Rasululah.... Kami hanya memiliki sepasang pakaian untuk sholat dan saat ini istriku di rumah belum melaksanakan sholat karena menunggu pakaian yang aku kenakan ini. Pakaian yang hanya sepasang ini kami pergunakan sholat secara bergantian. Kami sangat miskin. Untuk itu, Wahai Rasul.... jika engkau berkenan, doakanlah kami agar Allah menghilangkan semua kemiskinan kami dan memberi rejeki yang banyak.”

Rasulullah tersenyum mendengar penuturan Tsa'labah, lalu beliau berkata,

“Tsa‟labah sahabatku..., engkau dapat mensyukuri hartamu yang sedikit, itu lebih baik daripada engkau bergelimang harta tetapi engkau menjadi manusia yang kufur”.

 Nasehat Rasulullah sedikit menghibur hati Tsa'labah karena sesungguhnya yang ada dalam benaknya adalah ia sudah bosan menjalani hidup yang serba kekurangan. Satu-satunya cara agar cepat menjadi kaya adalah memohon doa kepada Rasulullah, karena doa seorang utusan Allah pasti didengar Allah. Itulah yang selalu menjadi angan-angan Tsa'labah, hingga keesokan harinya ia kembali menemui Rasulullah dan memohon agar beliau mau medoakannya agar menjadi orang kaya.

Rasulullah kembali menasehati, “Wahai Tsa'labah.. Demi Dzat diriku berada di tanganNya. Seandainya aku memohon kepada Allah agar gunung Uhud menjadi emas, Allah pasti mengabulkan. Tetapi apa yang terjadi jika gunung Uhud benar-benar menjadi emas, masjid-masjid akan sepi!. Semua orang akan sibuk menumpuk kekayaan dari gunung itu! Aku khawatir jika engkau menjadi orang kaya, engkau akan lupa beribadah kepada Allah..”

Tsa'labah terdiam mendengar nasehat Rasulullah namun dalam hatinya terkecamuk,
“Aku mengerti Rasulullah tidak mau mendoakan karena beliau sayang kepadaku.

Beliau khawatir jika aku menjadi orang kaya, aku akan menjadi golongannya orang-orang yang kufur. Tetapi aku tidak seburuk itu, justru dengan kekayaan yang kumiliki aku akan membela agama ini dengan hartaku...”

Akhirnya Tsa'labah pulang. Ia merasa malu apabila terus memaksa Rasulullah agar mau mendoakannya. Namun keesokan harinya ia tidak kuasa menahan dorongan hatinya untuk segera terbebas dari belenggu kemiskinan yang kian menghimpitnya. Ditemuinya Rasulullah, ia memohon untuk yang ketiga kalinya agar Rasulullah mau mendoakannya.

Kali ini Rasulullah tidak bisa menolak keinginan Tsa'labah, beliau mengadahkan tanganke langit... “Ya Allah... Limpahkanlah rejekiMu kepada Tsa'labah”

Kemudian Rasulullah memberikan kambing betina yang sedang bunting kepada Tsa'labah. “Peliharalah kambing ini baik-baik....” pesan Rasulullah.

Tsa'labah pulang membawa kambing pemberian Rasulullah dengan hati yang berbunga-bunga. “Dengan modal kambing serta doa Rasulullah, aku yakin aku akan menjadi orang yang kaya raya”.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, Tsa'labah yang dulu miskin dan lusuh telah
berubah menjadi orang kaya yang terpandang. Kambingnya berjumlah ribuan. Di setiap lembah dan bukit terdapat kambing-kambing Tsa'labah.

Pagi itu Tsa'labah berjalan-jalan meninjau kandang-kandang kambing yang sudah tidak sesuai dengan jumlah kambing yang terus berkembang biak.

Hmm.. Aku harus pindah dari sini, mencari lahan yang lebih luas untuk menampung kambing-kambingku...”
 
Akhirnya Tsa'labah menemukan lahan yang luas di pinggiran Madinah. Di sana ia membangun kandang-kandang baru yang lebih besar. Namun demikian perkembangan kambing-kambing Tsa'labah bagaikan air bah yang sulit dibendung.

Kandang-kandang yang baru dibangun itu pun sudah penuh sesak oleh ribuan kambing. Dengan demikian setiap hari Tsa'labah disibukkan mengurus harta
kekayaannya. Ia yang dulu setiap shalat lima waktu selalu berjamaah di masjid,
sekarang hanya datang ke masjid pada waktu shalat zuhur dan Ashar saja.
Sampai Rasulullah bertanya-tanya, “Wahai sahabatku... sudah sekian lama Tsa‟labah
tidak kelihatan di masjid. Tahukah kalian bagaimana keadaannya sekarang?”

 “Wahai Rasulullah... Tsa‟labah sudah menjadi orang kaya. Lembah-lembah di
Madinah maupun di luar Madinah, telah penuh sesak dengan kambing-kambing
Tsa‟labah...”

 “Benarkah? Mengapa ia tidak pernah menyerahkan shadakahnya sedikitpun?”
 Setelah Allah menurunkan ayat tentang kewajiban zakat. Rasulullah mengutus
dua orang sahabat untuk menjadi amil zakat. Seluruh umat Islam di Madinah yang
hartanya dipandang sudah nishab zakat didatangi, tak terkecuali Tsa‟labah pun
mendapat giliran. Kedua utusan Rasulullah membacakan ayat zakat di hadapan
Tsa‟labah. Kemudian setelah dihitung dari seluruh harta kekayaannya ternyata
memang banyak harta Tsa‟labah yang harus diserahkan sebagai zakat. Tak disangka,
Tsa‟labah mukanya berubah merah, ia berang...
 “Apa-apaan ini! Kalian mengatakan ini zakat..! Tetapi menurutku ini lebih tepat
disebut upeti! Pajak! Sejak kapan Rasulullah menarik upeti! Hahh..?! Aku bisa rugi!
Kalian pulang saja. Aku tidak mau menyerahkan hartaku..!”

Kedua utusan Rasulullah kembali menghadap Rasulullah dan menceritakan semua
perbuatan Tsa‟labah. Beliau bersedih telah kehilangan seorang sahabat yang dulu tekun
beribadah ketika miskin namun setelah kaya ia telah terpengaruh dengan harta
kekayaannya.
Sungguh celaka Tsa‟labah! Celakalah ia!”
 Kemudian Allah menurunkan ayat 75 dalam surat at Taubah, tentang ciri-ciri
orang munafik.
 Ayat itu segera menyebar ke seluruh muslimin di Madinah, hingga ada salah
seorang kerabat Tsa‟labah yang datang memberitahunya..” Celakalah engkau
Tsa‟labah! Allah telah menurunkan ayat karena perbuatanmu!”
 Tsa‟labah tertegun, ia baru sadar bahwa nafsu angkara murka telah lama
memperbudaknya. Kini ia bergegas menghadap Rasulullah dengan membawa zakat
dari seluruh hartanya. Namun Rasulullah tidak berkata apa-apa kecuali hanya sepatah
kata, “Sebab kedurhakaanmu, Allah melarangku untuk menerima zakatmu!”
 Tsa‟labah berjalan lunglai kembali kerumahnya. Hari-hari dalam hidupnya
hanya dipenuhi dengan penyesalan yang tiada arti. Sampai suatu hari terdengar kabar
Rasulullah telah wafat, ia semakin bersedih karena taubatnya tidak diterima oleh
Rasulullah hingga beliau wafat.
 Tsa‟labah mencoba mendatangi khalifah Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah.
Ia datang dengan membawa zakatnya. Apakah Abu Bakar menerimanya? Abu Bakar
hanya berkata, “Rasulullah saja tidak mau menerima zakatmu, bagaimana mungkin aku
menerima zakatmu?”
 Demikian pula di jaman kekhalifahan Umar bin Khattab, Tsa‟labah mencoba
menyerahkan zakatnya. Umar pun tidak mau menerima sebagaimana Rasulullah dan
Abu Bakar tidak mau menerima zakatnya. Bahkan sampai khalifah Utsman bin Affan
juga tidak mau menerima zakat Tsa‟labah karena Rasulullah, Abu Bakar dan Umar
tidak mau menerima zakatnya.

Demikianlah kisah Tsalabah, Allah sangat murka kepada orang yang berakhlak tercela, seperti tergambar dalam Al-Qur'an Surah At-Taubah ayat 75-78:

Artinya:
Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami termasuk orang orang yang saleh (75).
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran (76). Maka Allah. menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah , karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta (77).
Mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib (78).”

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)